Ah, ia yang tak tahu membalas budi. Ia yang seolah buta dengan penderitaan Ibu selama ini. Ibu yang tersia-sia karena Ayah poligami. Mengapa ia malah mengganggu suami orang? Mengapa ia melakukan hal buruk seperti istri muda Ayah.
Lihatlah mereka yang yang tak tersentuh pun pada musibah yang dialaminya. Bahkan saat Widuri tertusuk dan dirawat di rumah sakit, tak ada seorang istri muda yang datang. Mereka tak peduli. Mereka malah bersorak senang di atas penderitaannya.
Semua ini karena perbuatannya. Seandainya ia bisa menjaga diri. Seandainya ia bisa menuruti nasihat Asih, karibnya. Seandainya ia tak terobsesi pada kasih sayang seorang Ayah. Bukankah ia sudah memiliki kasih sayang Ibu. Mengapa ia mengharap Ayah yang watak bukan batuk. Watuk isa diobati nanging watak digawa sampek mati. Ayah yang lebih sayang pada istri-istri mudanya. Ayah yang telah tak peduli padanya. Mengapa ia selama ini buta?
Badriah ingin mengakhiri semua ini. Ia memandang dirinya di dalam cermin. Ia yang cantik. Tapi apa gunanya cantik tapi rusak, ibarat gelas yang retak dan menunggu untuk pecah. Ia yang sudah tak berguna. Badriah ingin mengakhirinya.
Badriah mengambil benda yang disimpan di bawah kolong ranjang. Pil tidur berada dalam kaleng. Badriah menuangkannya di telapak tangan. Ia mulai menghitung. Satu, dua, tiga, tujuh, ... ia menelan, menenggaknya. Mengakhiri hidup, semoga ia bisa mengakhiri segala masalah yang membelenggunya. Selamat tinggal Ibu. Selamat tinggal Mbak Widuri, Putri, Bayu, Asih. Selamat tinggal semuanya!
***
Tok-tok-tok! Putri mengetuk pintu kamar Badriah. “Mbak, bu-ka pin-tunya. Aku ba-wain ma-kan si-ang. Mb-ak Iyah...”
Sepi. Tak ada sahutan. Putri kembali mengetuk pintu.“Mba-k I-yah.. M-bak I-yah.”
Di dalam kamar tak ada sahutan. Sepi. Putri memutar gerendel pintu. Pintu tak dikunci. Pintu terbuka. Kosong. Tak ada Badriah. Badriah pergi ke mana? Apakah Badriah minggat karena tak kuat menerima beban hidup? Oh, hamil di luar nikah, dan Badriah memilih menyelesaikan masalahnya? Oh, Putri undur dari kamar kakaknya, setengah berlari ia mendatangi ibu yang sedang di dapur, mengiris cabai, bawang, bumbu tumis kangkung. “Bu, Mbak Badriah tidak ada di kamarnya. Mbak Badriah minggat…!”
“Dasar Badriah bodoh! Apa dia pergi mendatangi si mandor Kero. Sudah aku bilang, aku tak sudi memiliki menantu mandor Kero.”
Artikel Terkait
Cerita Pendek: PEREMPUAN DAUN PISANG
Cerita Pendek: PEREMPUAN BERWAJAH DINGIN
Cerita Pendek: AISARA BILANG MENCINTAIKU
Cerita Pendek: LASTRI