Sungai Cikapundung di Mata Orang-orang Sezaman

- Rabu, 22 Desember 2021 | 11:12 WIB
Warga Dago, Bandung awal abad ke-20 masih memanfaatkan Sungai Cikapundung untuk kegiatan marak (mencari ikan dengan cara membendung sungai). Soal ini diceritakan dalam buku Mangle yang terbit tahun 1902. (Rahim Asyik)
Warga Dago, Bandung awal abad ke-20 masih memanfaatkan Sungai Cikapundung untuk kegiatan marak (mencari ikan dengan cara membendung sungai). Soal ini diceritakan dalam buku Mangle yang terbit tahun 1902. (Rahim Asyik)

Tahun 1950-an Air Sungai Cikapundung Masih Jernih

Buku dari Us Tiarsa, Ramadhan KH, dan Afrizal Malna memberi kesaksian tentang Sungai Cikapundung seperti yang dialami dan dilihatnya pada masanya.
Buku dari Us Tiarsa, Ramadhan KH, dan Afrizal Malna memberi kesaksian tentang Sungai Cikapundung seperti yang dialami dan dilihatnya pada masanya. (Rahim Asyik)

Sampai tahun 1950-an, air Sungai Cikapundung masih jernih. Itu kesaksian Us Tiarsa R yang di masa kecilnya pernah jarambah, mapay-mapay Cikapundung. Dalam buku Basa Bandung Halimunan (Kiblat, 2011), Us Tiarsa memulai petualangannya dari jembatan Torpedo (kini Pasar Kembang Wastukancana).

Dari jembatan itu ke arah kuburan Belanda di Tamansari, banyak orang mandi, memanfaatkan air Cikapundung yang jernih.

Anak-anak biasanya menyusuri Cikapundung ke arah hilirnya hingga Nangkasuni. Kalau air sedang surut, bebatuan di dasar sungai terlihat. Agak ke selatan, di  jembatan Pajajaran, Cikapundung terbagi dua.

Aliran air yang utama mengarah ke timur, percabangannya yang kecil lurus ke selatan. Keduanya bertemu lagi di jembatan Kebonsirih. Di antara Cicendo dan Babakan Ciamis, ada pintu air yang mengatur air di Cikapundung Gede. Cikapundung Gede maupun di Cikapundung Leutik, keduanya kerap jadi tempat berenang.

Setelah AC Nix & Co, percetakan milik Karel Eduard Nix (sekarang Bank BNI) di Jalan Perintis Kemerdekaan (dulu Landraadweg, kemudian Jalan Gereja), air Cikapundung dangkal. Namun airnya masih dimanfaatkan warga Cibantar, tak jauh dari Braga, untuk mencuci.

Sungai Cikapundung di Mata Para Penyair

Tahun 1950-an itu, orang sudah jarang memancing di Cikapundung. Bisa jadi, kata Us Tiarsa, karena ikannya bau minyak tanah, tak lezat untuk disantap.

Seorang penyair dari generasi yang lebih muda menyaksikan Cikapundung sudah tak lagi ada indah-indahnya. Airnya berwarna ”cokelat penuh kebimbangan” sementara ”softex, bungkusan mi, dan sisa-sisa makan penuh pecahan kulit telur” terlihat di antara bebatuan.

Dalam sajak ”Liburan-liburan Keluarga dan Pipa-pipa Air”, Afrizal Malna mencemaskan Sungai Cikapundung yang tengah beralih fungsi. ”Saudara, kota telah dibuat dari bangkai-bangkai sungai,” kata Afrizal (Kalung dari Teman, Grasindo, 1999).

Baca Juga: Misteri Ular Hitam Sungai Cikapundung

Kesaksian sejenis disampaikan penyair lainnya, Wilson Nadeak. Wilson melihat, ”dari kali cikapundung megah, tumpah-ruah isi perut penghuni kota” (”Di Gubukgubuk Reot Bersalam-salaman”).

Dalam ”Tanah Kelahiran, 6” (Priangan Si Jelita, 1956), Ramadhan KH malah lebih getir memandang Cikapundung. Mungkin Ramadhan menyaksikan korban banjir Cikapundung. Katanya, ”Seruling berkawan pantun//tangiskan derita orang priangan//selendang merah, merah darah,//menurun di Cikapundung.

 

Halaman:

Editor: M. Naufal Hafizh

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Bioskop-bioskop di Bandung Zaman Dulu

Sabtu, 23 September 2023 | 10:01 WIB

29 Nama Bambu Abadi dalam Toponimi

Kamis, 21 September 2023 | 16:07 WIB

Wisata Gunungapi yang Berkelanjutan

Jumat, 15 September 2023 | 11:25 WIB
X