Tahun 1950-an Air Sungai Cikapundung Masih Jernih
Sampai tahun 1950-an, air Sungai Cikapundung masih jernih. Itu kesaksian Us Tiarsa R yang di masa kecilnya pernah jarambah, mapay-mapay Cikapundung. Dalam buku Basa Bandung Halimunan (Kiblat, 2011), Us Tiarsa memulai petualangannya dari jembatan Torpedo (kini Pasar Kembang Wastukancana).
Dari jembatan itu ke arah kuburan Belanda di Tamansari, banyak orang mandi, memanfaatkan air Cikapundung yang jernih.
Anak-anak biasanya menyusuri Cikapundung ke arah hilirnya hingga Nangkasuni. Kalau air sedang surut, bebatuan di dasar sungai terlihat. Agak ke selatan, di jembatan Pajajaran, Cikapundung terbagi dua.
Aliran air yang utama mengarah ke timur, percabangannya yang kecil lurus ke selatan. Keduanya bertemu lagi di jembatan Kebonsirih. Di antara Cicendo dan Babakan Ciamis, ada pintu air yang mengatur air di Cikapundung Gede. Cikapundung Gede maupun di Cikapundung Leutik, keduanya kerap jadi tempat berenang.
Setelah AC Nix & Co, percetakan milik Karel Eduard Nix (sekarang Bank BNI) di Jalan Perintis Kemerdekaan (dulu Landraadweg, kemudian Jalan Gereja), air Cikapundung dangkal. Namun airnya masih dimanfaatkan warga Cibantar, tak jauh dari Braga, untuk mencuci.
Sungai Cikapundung di Mata Para Penyair
Tahun 1950-an itu, orang sudah jarang memancing di Cikapundung. Bisa jadi, kata Us Tiarsa, karena ikannya bau minyak tanah, tak lezat untuk disantap.
Seorang penyair dari generasi yang lebih muda menyaksikan Cikapundung sudah tak lagi ada indah-indahnya. Airnya berwarna ”cokelat penuh kebimbangan” sementara ”softex, bungkusan mi, dan sisa-sisa makan penuh pecahan kulit telur” terlihat di antara bebatuan.
Dalam sajak ”Liburan-liburan Keluarga dan Pipa-pipa Air”, Afrizal Malna mencemaskan Sungai Cikapundung yang tengah beralih fungsi. ”Saudara, kota telah dibuat dari bangkai-bangkai sungai,” kata Afrizal (Kalung dari Teman, Grasindo, 1999).
Baca Juga: Misteri Ular Hitam Sungai Cikapundung
Kesaksian sejenis disampaikan penyair lainnya, Wilson Nadeak. Wilson melihat, ”dari kali cikapundung megah, tumpah-ruah isi perut penghuni kota” (”Di Gubukgubuk Reot Bersalam-salaman”).
Dalam ”Tanah Kelahiran, 6” (Priangan Si Jelita, 1956), Ramadhan KH malah lebih getir memandang Cikapundung. Mungkin Ramadhan menyaksikan korban banjir Cikapundung. Katanya, ”Seruling berkawan pantun//tangiskan derita orang priangan//selendang merah, merah darah,//menurun di Cikapundung.
Artikel Terkait
Terseret Banjir, Kakek Tewas di Sungai Cikapundung
Mayat Sungai Cikapundung Bukan Iyos
Gandeng Pemerintah Korsel, Pemkot Bandung Segera Revitalisasi Sungai Cikapundung
Revitalisasi Sungai Cikapundung Harus Dimulai dari Sanitasi
Ini Kronologi Longsornya Bantaran Anak Sungai Cikapundung
Dibalik Misi Ridwan Kamil Revitalisasi Sungai Cikapundung
Alun-Alun Regol Percantik Revitalisasi Sungai Cikapundung
Setelah Hujan, Warga Temukan Ular Piton di Sungai Cikapundung
Jaga Mata Air Cibarani, Bantaran Sungai Cikapundung Direvitalisasi
Tim Gober Temukan Granat Nanas di Sungai Cikapundung