LENGKONG, AYOBANDUNG.COM -- Kota Bandung merupakan kawah candradimuka bagi pahlawan nasional seperti Cipto Mangunkusumo (Tjipto Mangoenkoesoemo). Cipto dua kali tinggal di Bandung tapi dua-duanya berakhir dengan pembuangan.
Cipto ke Bandung untuk pertama kalinya pada Desember 1912 (lihat buku Seabad Pers Kebangsaan, I:Boekoe, 2007). Cipto masuk dalam jajaran dewan redaksi koran De Express yang didirikan Douwes Dekker pada 1 Maret 1912.
Pada 25 Desember 1912, Cipto terlibat dalam pendirian Indische Partij, partai politik radikal pertama di Hindia Belanda, bersama dengan Ernest Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi) dan Suwardi Suryaningrat (Soewardi Soerjaningrat) yang di kemudian hari dikenal dengan Ki Hadjar Dewantara. Ketiganya lekat dengan julukan Tiga Serangkai.
Baca Juga: Dua Kaulinan Barudak Jaman Baheula: Pérépét Jéngkol jeung Sasalimpetan
Tiga-tiganya motor Indische Partij. Tulisan ketiganya di De Express sarat kritik sehingga bikin berang Belanda. Puncaknya adalah tulisan Suwardi Suryaningrat berjudul Als Ik Een Nederlander Was (Andaikan Saya Seorang Belanda) yang isinya mengkritik perayaan besar-besaran kemerdekaan Belanda di Indonesia.

Tulisan yang dimuat tanggal 19 Juli 1913 itu didukung tulisan lainnya dari Cipto dan Douwes Dekker, membuat Cipto dan Suwardi dijebloskan ke penjara pada 30 Juli 1913.
Pada 18 Agustus 1913 ketiganya dijatuhi hukuman buang. Ketiganya memilih dibuang ke Belanda dan berangkat pada 6 September 1913. Tak heran kalau ketiganya juga disebut trio banelling (trio buangan).
Kedatangan Cipto Mangunkusumo ke Bandung untuk Kedua Kalinya
Cipto kembali masuk dan tinggal di Bandung pada tahun 1920.
Ceritanya, saat dibuang ke Belanda, Cipto sakit-sakitan. Cipto mengidap asma. Pada Juli 1914, Cipto akhirnya diperkenankan kembali ke Indonesia. Setiba di Indonesia, Cipto tinggal di Semarang lalu ke Solo.
Bukannya kapok, Cipto malah kembali aktif berpolitik lewat Insulinde, organisasi pengganti Indische Partij. Di bawah Cipto, anggota Insulinde membengkak. Dari 1.009 anggota pada 1915, menjadi 6.000 pada 1917 dan bahkan 40.000 orang pada 1919. Pada 9 Juni 1919 Insulinde ganti nama jadi Nationaal-Indische Partij (NIP).
Baca Juga: Bandung Baheula: Masjid Mungsolkanas Masjid Pangkolotna di Bandung
Tentu saja perkembangan massa NIP yang demikian pesat membuat Belanda ketakutan. Pada 15 Oktober 1920, Dewan Hindia (Raad van Nederlandsch Indie) memberi masukan kepada gubernur jenderal untuk mengusir Cipto ke kawasan yang tidak bisa bicara bahasa Jawa.
Artikel Terkait
[Bandung Baheula] 4 Sejarah Nama Jalan di Kota Bandung, dari Braga hingga Dago
Paguyuban Sapedah Baheula Bandoeng Meriahkan Hari Kemerdekaan Indonesia
Baheula Balé Nyungcung, Ayeuna Masjid Raya Jawa Barat
Kulinér Sunda Jaman Baheula
Peuyeum Bandung (Baheula) Kamashur
Bandung Baheula: Masjid Mungsolkanas Masjid Pangkolotna di Bandung
Bandung Baheula: Kulinér Roti Légendaris di Bandung
Bandung Baheula: Tegallega Tempat Pacuan Kuda para Juragan
Dua Kaulinan Barudak Jaman Baheula: Pérépét Jéngkol jeung Sasalimpetan
Ti Baheula Urang Tionghoa Pinter Dagang