Cerita Pendek T Agus Khaidir*
MENDEKATI masa pensiun ibu lebih banyak di rumah, melakukan hal-hal yang baginya menyenangkan: membuat kue, memandikan kucing, membersihkan kolam ikan hias, juga berkebun. Terutama yang terakhir. Di pekarangan belakang ibu menanam berbagai jenis anggrek dan mawar dan merawatnya dengan telaten sekali.
Aku suka menyaksikan ibu berkebun dari balik jendela kamarku. Menyaksikan bagaimana dia menggemburkan tanah dengan cangkul atau sekop, menabur pupuk, memercikkan air ke kelopak bunga, memotong batang atau daun-daun yang kering dan layu, lalu menyeka keringat di dahinya.
Aku ingat, sebelum ayah meninggal, berdua-duaan mereka melakukan aktivitas ini. Paling sering di akhir pekan, pagi-pagi usai berolahraga, dan baru mengakhirinya menjelang tengah hari. Sorenya, mereka duduk lagi di sana, mengobrol sembari minum teh dan memandang hilir-mudik ikan di kolam.
Tiap kali menyaksikan ibu berkebun, kenangan ini hadir lagi. Pun beberapa menit lalu. Namun repetisi suara yang kedengaran seperti ketukan--mungkin di pintu depan--dan gerimis yang pelan-pelan membesar menghalaunya pergi. Kulihat ibu berlari [benar-benar berlari!] mengitari kolam lalu melompati undak-undakan yang agak terlalu tinggi untuk ukuran perempuan seusianya.
Kenapa ibu sampai berlari seperti itu? Apakah lantaran suara ketukan? Rasa-rasanya mustahil. Andai memang ketukan itu di pintu depan kukira jaraknya terlalu jauh untuk sampai ke telinga ibu. Terlebih saat gerimis begini.
Lagi pula bukan kebiasaan ibu. Biasanya, ibu lebih suka berteriak memerintah. Buka pintu! Tutup pintu! Ambilkan ini dan itu, bereskan ini dan itu. Yeah! Suaranya yang nyaring melengking akan melesat-lesat membuat kelimpungan orang seisi rumah.
Di antara jatuh gerimis suara ketukan kedengaran makin keras. Repitisinya kian rapat pula. Siapa yang kurang kerjaan datang bertamu sore-sore berhujan begini? Namun kenapa tidak ada yang membukakan pintu? Ke mana ibu? Ke mana kakak-kakakku? Ke mana abang ipar dan keponakan-keponakanku? Mak Len dan Mak Merak, pembantu-pembantu rumah tangga kami, ke mana mereka? Apakah sedang tidak berada di rumah?
Baca Juga: Disumpahi Mandul Gegara Sebut Jenny Blackpink Malas, Kiky Saputri Siap Tempuh Jalur Hukum
Aku ingin tak peduli. Tentu saja. Selama ini, bahkan ketukan di pintu kamarku tak pernah cukup kuat untuk membuatku beranjak membukanya.
Namun makin lama ketukan makin terasa meneror. Kusurukkan kepalaku ke balik bantal. Kutimpa guling, selimut, sialan! Tak berhasil juga! Ketukan makin keras, makin rapat, dan makin kencang berdentam-dentam. Ke mana perginya semua orang?
Rasa dongkol bercampur penasaran mendorongku melangkah keluar kamar dan melongok ke lantai bawah. Memang sepi sekali. Di ruang keluarga, televisi yang sedang menyiarkan rekaman pertandingan olahraga mengalir sendiri. AC menyala. Sepasang Persia peliharaan ibu leyeh-leyeh di sofa. Telinga mereka mendadak terangkat.
Aku menuruni tangga dengan perasaan canggung. Sudah berapa lama berlalu? Aku lupa. Sebulan? Dua bulan? Tiga bulan? Mungkin lebih. Sejak ayah meninggal aku lebih sering di kamar. Melakukan hal-hal yang bagiku menyenangkan: membaca buku, menonton film, bermain video game, memberi makan kura-kura, menumbuk obat-obat lalu membuangnya ke toilet, dan menulis lagu. Terutama yang terakhir.
Baca Juga: Gagal Digelombang 49, Kartu Prakerja Gelombang 50 Kapan Dibuka? Calon Peserta Sudah Ngak Sabar!
Kulakukan tiap hari, dan kalau dihitung barangkali sudah ratusan jumlahnya. Barangkali seribu. Aku tidak tahu. Tiap selesai satu, lembaran partiturnya akan kugunting jadi potongan-potongan kecil, lalu kubakar. Ada marah yang terlampiaskan tiap kali melihat lagu-lagu itu lenyap jadi abu.
Artikel Terkait
Cerita Pendek: TANGAN YANG DIBUNGKAM
Cerita Pendek: AKU CINTA KAU BUMI
Cerita Pendek: PSIKOTIK
Cerita Pendek: NATSUMI DAN SUAMINYA YANG INGIN BERISTRI LAGI