LENGKONG, AYOBANDUNG.COM -- Pada 23 Maret 1946, atau 75 tahun lalu, rakyat Bandung membakar rumah dan bangunan dalam strategi 'bumihangus' agar wilayah ini tak dikuasai oleh sekutu. Peristiwa itu kini dikenal sebagai Bandung Lautan Api.
Peristiwa Bandung Lautan Api bermula ketika Belanda dan Sekutu datang ke Bandung pada 12 Oktober 1945.
Mereka ingin merebut sejumlah wilayah Indonesia dengan cara melucuti senjata Tentara Keamanan Rakyat (TKR), laskar-laskar pejuang, milisi Indonesia, dan tentara Jepang. Mereka juga berupaya membebaskan tawanan Eropa Belanda.
Kehadiran sekutu di Kota Kembang ini mendapat sambutan kurang ramah dari para pejuang. Sejumlah pertempuran sempat terjadi di antaranya pertempuran Cihaurgeulis, Sukajadi, Pasirkaliki, Viaduct (jembatan di atas jalan), dan balai kereta api.
Geram dengan sikap rakyat Bandung yang enggan meletakan senjata, tentara sekutu di bawah komando Kolonel McDonald memberi ultimatum kedua pada 23 Maret 1946 agar Bandung selatan segera dikosongkan oleh milisi serta rakyat sipil.
Seruan itu telah jauh-jauh hari digembar-gemborkan oleh Belanda dan Sekutu melalui selebaran kertas yang jatuhkan oleh pesawat Dakota milik RAF (Angkatan Udara Kerajaan Inggris). Selebaran itu berisi: “Para ekstrimis Indonesia harus mengosongkan Bandung selambat-lambatnya 24 Maret 1946, jam 24.00 dan mundur sejauh 11 km dari tanda kilometer nol”.
Para pejuang Bandung yang tergabung dalam TRI (Tentara Republik Indonesia), laskar-laskar, dan ribuan rakyat lainnya geram dan dengan tegas menolak menyerahkan tanah tumpah darah kepada Belanda.
Terkait ultimatum itu, Pemerintah Republik Indonesia melaui Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan Komandan Divisi III TRI, Kolonel AH Nasution, menyarankan agar para pejuang Bandung memenuhi ultimatum Sekutu.
AH Nasution sempat bicara soal opsi mempertahankan atau menyerahkan kota Bandung dengan Sutan Syahrir.