LENGKONG, AYOBANDUNG.COM -- Raden Aria Adipati Wiranatakusumah V (1888-1965) adalah sosok istimewa yang berperan besar dalam pembentukan NKRI. Dikenal luas sebagai Bupati Bandung dan Presiden Negara Pasundan, putra dari Rd Adipati Kusumahdilaga ini dinilai sebagai 'priyayi nasionalis' dan dekat dengan tokoh-tokoh pergerakan.
Wiranatakusumah V lahir di Bandung pada 1888 dengan nama Raden Muharam. Berdasarkan penuturan pegiat sejarah, Radian Suriaatmaja, Wiranatakusumah V sejak kecil ditinggal sang ayah meninggal dunia hingga diurus oleh 3 orang tua wali. Salah orang tua walinya yang kemudian sangat berpengaruh pada perkembangan Wiranatakusumah V adalah orientalis dan Penasehat Urusan Pribumi untuk pemerintah kolonial Hindia Belanda, Snouck Hurgronje.
Sebagai keturunan ningrat, Wiranatakusumah V mengenyam pendidikan ala Eropa di Europeesch Lagere School (ELS). Sekolah tersebut merupakan sekolah dasar untuk orang-orang Eropa dan orang pribumi keturunan elit.
"Soekarno, Kartosuwiryo dan beberapa tokoh penting lain juga sekolah di ELS. Pribumi boleh sekolah di sana asalkan berasal dari kaum elit dan bisa berbahasa Belanda," ungkap sejarawan Universitas Pendidikan Indonesia, Agus Mulyana dalam diskusi daring Menggali Tokoh Sang Dalem Haji Wiranatakusumah V, Rabu (1/7/2020) malam.
Dari sana, Wiranatakusumah V dapat dibilang senantiasa mendapat kesempatan bersekolah dengan kualitas pendidikan setara bangsa Eropa. Hal ini pulalah yang kemudian membuat sosoknya dikenal sebagai pribadi yang luwes bergaul, baik dengan para bangsa Eropa dan petinggi Hindia Belanda maupun tokoh pergerakan nasional.
Ia kemudian melanjutkan pendidikannya ke OSVIA, sekolah bagi kaum priyayi yang juga dikenal sebagai sekolah bagi anak-anak bupati. Lulusannya diarahkan untuk menjadi pegawai pemerintah atau mantri polisi (sekarang serupa IPDN).
Di sanalah ia kemudian bertemu Snouck Hurgronje, yang terkesan dengan kecerdasan Wiranatakusumah V. Ia kemudian disponsori oleh Snouck untuk melanjutkan sekolah ke Hogereburgerschool (HBS) Batavia, dengan kurikulum pendidikan yang lebih umum dan biaya yang lebih mahal.
Agus menuturkan, berdasarkan teori kaum elit di Indonesia, warga pribumi yang masuk ke sekolah-sekolah elit bersama warga Eropa tersebut terbagi ke dalam dua golongan. Pertama adalah "priyayi nasionalis" dan kedua adalah "priyayi birokratis".
Para priyayi nasionalis adalah mereka yang tidak memiliki keinginan untuk menjadi pegawai negeri Hindia Belanda, seperti Soekarno, Cipto Mangunkusumo, dan lain-lain. Pendidikan ala Belanda yang mereka dapatkan dimanfaatkan untuk memberontak dan mendirikan organisasi kebangsaan.
Sementara priyayi birokratis adalah mereka yang memilih menjadi pegawai pemerintahan selepas mengenyam pendidikan. Umumnya mereka kemudian menduduki jabatan sebagai bupati.
"Tapi tidak semua yang birokratis itu tidak nasionalis," ungkap Agus.
Hal ini salah satunya tercermin dalam diri Wiranatakusumah V. Meskipun ia tetap berkiprah di jalur birokratis sepanjang karirnya, namun hal tersebut ia manfaatkan sebagai 'kendaraan' untuk memerdekakan Bangsa Indonesia dari dalam sistem.
Dari Juru Tulis, Jurnalis hingga Menteri Dalam Negeri
Wiranatakusumah V memulai karir kepegawaian negaranya dengan menjadi juru tulis Wedana Tanjungsari Sumedang pada 1910. Ia kemudian ditunjuk untuk menjadi Mantri Polisi di Cibadak, Sukabumi dan dilanjut dengan jabatan yang sama di Sukapura, Tasikmalaya.